Rabu, 19 Oktober 2011


Kerajinan Perak Kotagede

Kerajinan Perak Kotagede

          Kerajinan perak identik dengan nama Kota Gede karena banyak sekali rumah tangga yang menyandarkan kehidupannya dari kerajinan perak, ada yang kecil-kecilan, dengan tenaga kerja satu-dua orang, namun ada juga yang mempekerjakan hingga 60 orang perajin. Sebenarnya kerajinan perak ini telah dilakukan turun temurun sejak dahulu dan berawal dari pemenuhan kebutuhan akan perhiasan atau perlengkapan lainnya bagi Raja dan Kraton serta kerabat-kerabatnya. Lokasi perajin perak ada di hampir setiap sudut Kota Gede dari pasar Kota Gede hingga Mesjid Agung dan bekas Istana Mataram Islam, terdapat puluhan toko, perajin maupun koperasi kerajinan perak.

          Ciri khas yang tetap dipertahankan adalah pengerjaan barang kerajinan secara manual, karena sejak jaman dulu sampai sekarang tetap mengandalkan ketrampilan tangan. Sebuah perak lempengan dipahat sedikit demi sedikit dengan lembaran aspal atau lilin atau sebuah kawat perak tipis dipilih satu persatu dan dirangkai sedemikian rupa untuk memperoleh bentuk yang dikehendaki dengan bagian rumit yang perlu dilaspun dikerjakan dengan penuh ketelitian. Sebagian lagi memerlukan proses yang berbeda, misalnya dengan dibakar untuk memperoleh perak bakar yang juga banyak digemari.

          Kerajinan perak di daerah Kota Gede ini dalam perkembangannya tak dapat lepas dari sentuhan teknologi serta keragaman desain karena demi mencapai hasil yang lebih baik, dan agar dapat memenuhi selera konsumen yang beragam.

          Sebagian besar hasil kerajinan berupa barang-barang yang berbentuk klasik, seperti nampan, piring, sendok-garpu, vas bunga, asbak, tutup gelas dan lain sebagainya. Terdapat pula hasil kerajinan seperti cincin, kalung, giwang dan lainnya. Kebanyakan ornamen kerajinan perak Kota Gede sangat dipengaruhi oleh motif kain batik. Dalam masalah penentuan harga sebuah benda kerajinan perak ini tidak hanya didasarkan besar-kecilnya atau beratnya tetapi juga nilai seni dan tingkat kerumitan dalam pengerjaannya. Sehingga sering didapati harga yang sangat bervariatif antara satu penjual dengan penjual lainnya, tetapi yang pasti lebih murah daripada yang dijual diluar Kota Gede, misal di hotel, geleri atau lainnya di pusat kota Jogja.

Kota Tua Sekaligus Sentra Kerajinan Perak

Terletak sekitar 10 kilometer di sebelah tenggara jantung kota Yogyakarta, wilayah itu sekarang terkenal dengan nama Kotagede yang merupakan sentra kerajinan perak di Yogyakarta. Menyimpan sekitar 170 bangunan kuno buatan tahun 1700 hingga 1930, "Kotagede tidak cukup disebut sebagai Kota Perak, tetapi Kota Tua (The Old Capital City)" menurut seorang budayawan Kotagede, Achmad Charris Zubair.
Memasuki Kotagede dari arah utara melalui Gedong Kuning, sebuah jalan kecil diapit bangunan klasik yang berjejer di kedua ruas jalan seakan menjadi pembuka eksotis bagi wisatawan setelah melewati gapura.
Semenjak memasuki wilayah Kotagede, para wisatawan sudah bisa menikmati berbagai kerajinan perak yang dijual di bagian depan rumah penduduk sekaligus galeri (berbentuk Joglo yang biasanya untuk menerima tamu) dengan jenis dan harga yang beraneka ragam.
Kerajinan perak sendiri merupakan budaya turun temurun. Pada awalnya kerajinan di Kotagede berupa emas, perak dan tembaga. Namun seiring waktu, kerajinan peraklah yang paling diminati. Sehingga para pengrajin lebih banyak memilih untuk mengolah perak hingga sekarang. Saat ini, kerajinan ini sudah diekspor ke manca negara terutama Eropa. Dan biasanya permintaan akan melonjak setiap akhir tahun.
Mampirlah ke salah satu galeri untuk melihat berbagai kerajinan, mulai dari perhiasan, benda pajangan atau alat makan dari perak yang dibuat dengan sentuhan artistik para pengukir perak Kotagede, senyuman dan sapaan hangat akan menjadi sambutan yang menyenangkan untuk mengawali perjalanan menelusuri Kotagede.

Makam Pendiri Kerajaan Mataram Kuno

Ke arah selatan perkampungan, terdapat sebuah pasar rakyat yang dikenal dengan sebutan Pasar Gede. Meski bangunannya hanya memakai arsitektur sederhana dan seadanya, pasar tradisional yang dibangun pada masa Panembahan Senopati telah menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi masyarakat mentawisan. Hal ini yang membuat Kotagede dikenal dengan nama Pasar Gede atau Sargede dulunya.
Sekitar 50 meter selatan Pasar Gede di jalan Masjid Besar, sebuah gapura dengan benteng panjang melindungi salah satu situs kejayaan Mataram tempo dulu yang masih terawat dengan baik, sebuah Petilasan Kraton Kotagede. Beberapa pohon beringin berjulur panjang yang menandakan usianya yang telah tua seolah menjadi penjaga tempat keramat tersebut. Melewati gapura kedua ada sebuah tembok tinggi sekitar dua meter dengan jalan di kedua sisinya menghalangi pandangan dari gapura ketiga yang menjadi jalan menuju kompleks Masjid Agung.
Di tengah kompleks terdapat Masjid pertama di Kotagede dikelilingi rumah para Abdi Dalem. Masjid tersebut dibangun oleh Sultan Agung bersama masyarakat setempat - yang waktu itu kebanyakan memeluk agama Hindu dan Budha - maka arsitekturnya pun banyak mengadopsi corak khas arsitektur Hindu dan Budha. Salah satunya adalah gapura masjid yang berukiran mirip vihara. Ukiran-ukiran kayu yang menghiasi hampir setiap sudut masjid juga bercorak gaya Hindu dan Budha. Hal ini menjadi keunikan tersendiri dari masjid ini. Di dalam Masjid juga terdapat sebuah mimbar yang berukiran unik, upeti dari Adipati Palembang kepada Sultan Agung.
Sebelah selatan Masjid terdapat komplek makam para Pendahulu Kerajaan Mataram serta kerabat keluarga kerajaan yang juga merupakan tempat tinggal Ki Ageng Pemanahan dulunya. Terdapat sebuah bangsal duda (sekarang menjadi koperasi) ketika melewati gapura pertama sebelum memasuki gapura kedua.
Melewati gapura kedua sebuah komplek menjadi pembatas sekaligus jalur penghubung menuju makam juga Sendang Saliran (tempat pemandian). Pada komplek ini terdapat kantor, gudang, bangsal pengapit lor dan bangsal pengapit kidul.
Di sebelah barat komplek terdapat sebuah gapura menuju komplek makam. Memasuki komplek ini, wisatawan diwajibkan memakai pakaian adat Jawa dan melaksanakan tahlilan (doa) sebelum membuka makam. Melewati sekitar 720 makam, wisatawan akan dihantar menuju sebuah bangunan utama yang menjadi tempat bersemayam Keluarga Besar Kerajaan. Di antaranya Nyai Ageng Nis dan P. Djoyo Prono yang merupakan eyang dari Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan (ayah dari Panembahan Senopati), Panembahan Senopati hingga Kyai Wonoboyo Mangir, menantu sekaligus musuh Panembahan Senopati yang makamnya setengah berada di luar bangunan menjadi keunikan tersendiri di makam ini. Konon kematian Kyai Ageng Mangir disebabkan kepalanya dibenturkan ke batu yang menjadi singgasana Panembahan Senopati oleh Panembahan sendiri. Batu itu sendiri masih bisa dilihat di sebelah selatan komplek Masjid sekitar 100 meter.
Menurut Pak Muji salah satu Abdi Dalem kepada YogYES, pengunjung biasanya berdoa memohon restu dan keselamatan serta kesuksesan di setiap Makam Raja.
Sementara itu di sebelah selatan makam terdapat tempat pemandian yang terbagi menjadi Sendang Kakung untuk pria dan Sendang Putri untuk wanita. "Menyegarkan diri di tempat ini bisa menjadi penyembuh beberapa penyakit serta memohonkan kesuksesan serta kesejahteraan" tambah Pak Muji.

Rumah Kalang

Setelah menziarahi makam, wisatawan bisa mengunjungi salah satu rumah kuno yang dibangun oleh almarhum Pawiro Suwarno pada 1920-an, yang waktu itu seorang pengusaha kaya di Kotagede. Rumah ini dikenal juga dengan sebutan Rumah Kalang. Orang Kalang merupakan pendatang yang diundang oleh Raja untuk menjadi tukang ukir perhiasan kerajaan.
Keunikan Rumah Kalang ini adalah adanya perpaduan unsur Jawa dan Eropa, yaitu joglo yang dijadikan rumah induk terletak di bagian belakang dan di depan bangunan model Eropa. Bangunan Eropa ini cenderung ke bentuk baroque, berikut corak corinthian dan doriq. Sedang pada bangunan joglonya, khususnya pendopo sudah termodifikasi menjadi tertutup, tidak terbuka seperti pendopo joglo rumah Jawa. Relief-relief dengan warna-warna hijau kuning, menunjukkan bukan lagi warna-warna Jawa lagi. Munculnya kaca-kaca warna warni yang menjadi mosaik penghubung antar pilar-pilar, menunjukkan joglo ini memang sudah menerima sentuhan lain.
Rumah bergaya campuran Jawa dan Eropa ini yang sekarang menjadi milik keluarga Ansor terletak sekitar 300 meter di utara Pasar Gede. Sambil menikmati keindahan arsitektur masa lampau, wisatawan juga bisa membeli kerajinan perak yang diukir indah oleh tangan-tangan terampil serta menikmati santapan lezat di rumah keluarga Ansor yang telah dijadikan salah satu galeri perak terbesar di Kotagede serta sebuah restoran tanpa merubah bentuk asli rumah tersebut
http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/places-of-interest/kotagede/

"Foolishisasi" Koperasi
Oleh Lukman M Baga
"We are the blind people and cooperative is our elephant"
SUSAH memang jika negara kita yang mengidamkan bangkitnya kekuatan ekonomi rakyat, tetapi dipimpin oleh mereka yang terkategori "tidak tahu bahwa mereka tidak tahu" tentang perkoperasian. Repotnya lagi jika para pemimpin negara berperilaku sok tahu sehingga proses foolishisasi koperasi justru berkembang di kalangan masyarakat.
Saat memperingati Hari Koperasi tahun lalu, dengan nada sangat prihatin Presiden Megawati Soekarnoputri menyatakan, "Pada usia yang ke-55 tahun ini, seperti halnya kita manusia yang mestinya sudah menuju kasepuhan, tapi ini (koperasi) jalannya masih seperti bekicot, pelan sekali." (Kompas, 13 Juli 2002)
Menyimak pernyataan ini, paling tidak ada tiga hal yang patut disesalkan. Pertama, diungkapkan dengan nada prihatin bernuansa pesimistis. Suatu nuansa yang justru bertentangan dengan semangat gerakan koperasi yang optimistis.
Bandingkan, misalnya, dengan pidato Bung Hatta pada Hari Koperasi II tahun 1952: "Kita menuju ke arah membangun masyarakat gotong-royong, dan alat untuk membangunnya secara teratur ialah kooperasi. Oleh karena itu besar harapan saya, supaya benar-benar hidup suatu tradisi yang ada artinya, sehingga Hari Kooperasi yang kembali saban tahun itu menjadi anak tangga naik ke jurusan yang kita tuju. Koperasi hendaknya dapat menggambarkan, bahwa dari tahun ke tahun gerakan koperasi kita bertambah baik jalannya, bertambah sempurna organisasinya dan bertambah kuat semangatnya." (Hatta, 1971, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun)
Terlihat perbedaan cara pandang terhadap gelas yang setengah penuh. Megawati mengeluhkan kondisi ini, sebaliknya dengan Bung Hatta yang optimistis. Padahal, kondisi perekonomian pada tahun 1952 tidak lebih baik dibandingkan dengan tahun 2002.
Kedua, Megawati tidak memahami bahwa pada kodratnya koperasi bergerak lambat, tetapi membangun suatu kekuatan yang dahsyat dan tidak mudah digoyahkan. Gerakan koperasi di Jerman dan negara-negara Skandinavia dimulai pada awal abad ke-19. Hasilnya, gerakan koperasi di negara-negara tersebut luar biasa perannya saat ini.
Mbak Mega seharusnya tidak membandingkan koperasi dengan pertumbuhan sektor swasta yang cepat bagaikan pelari sprint 100 meter. Apalagi dengan pertumbuhan para konglomerat yang berlari di dalam gerbong kereta yang konon difasilitasi pemerintah.
Koperasi bersama anggotanya berlari bagaikan program maraton sebuah keluarga besar. Sang bapak yang bisa berlari lebih cepat tentunya tidak akan meninggalkan anak-anaknya yang sebentar-sebentar kelelahan dan minta istirahat. Alangkah tidak tahu dirinya jika ketua koperasi berlari melesat sendirian meninggalkan anggotanya jauh di belakang, tidak mau membimbing anggotanya, dan tidak lagi memotivasi anggotanya agar mau terus berlari. Akan tetapi, ini justru yang banyak terjadi pada koperasi Indonesia.
Ironisnya, pernyataan para pejabat kita justru mengondisikan agar koperasi mewujudkan diri sebagai para pelari sprinter, yang inginnya cepat besar tanpa adanya proses pembimbingan dan pemotivasian anggota. Fakta menunjukkan bahwa faktor pendidikan yang sangat esensial bagi gerakan koperasi menjadi suatu hal yang banyak terabaikan di negeri tercinta. Alhasil, banyak koperasi yang anggotanya merana, sementara para pengurusnya berjaya.
Ketiga, mungkin Megawati tidak mengalkulasi bagaimana kekuatan yang dibangun oleh gerakan koperasi walau dinyatakan sebagai jalannya bekicot. Yang perlu diingat, bekicot ini bukan dalam jumlah satuan atau ratusan, tetapi jutaan.
Jumlah anggota koperasi pada akhir tahun 2000 tercatat paling tidak 27,3 juta orang dari sekitar 103.000 koperasi. Volume usaha koperasi Rp 23,1 triliun dengan sisa hasil usaha (SHU) Rp 694,5 miliar. Megawati mungkin hanya melihat angka volume usaha dana SHU yang secara rata-rata adalah Rp 224 juta dan Rp 6,7 juta per koperasi setahun. Suatu jumlah yang sama sekali tidak bisa dibanggakan.
Namun, Megawati lupa atau tidak menyadari bahwa anggota yang jutaan ini memiliki volume usaha dan keuntungan yang, jika dijumlahkan, jauh lebih besar dibandingkan yang terkait langsung dengan koperasi.
Misalnya dalam koperasi susu. Volume usaha yang tercatat adalah transaksi tunai dari volume susu yang disetorkan peternak kepada koperasi susu, ditambah dengan pembelian pakan konsentrat serta beberapa pelayanan kesehatan ternak yang dibeli atau diperoleh dari koperasi.
Namun, berbagai aktivitas ekonomi lain, baik yang bersifat tunai maupun nontunai, belum lagi diperhitungkan. Misalnya, pengadaan rumput, jasa pemeliharaan ternak sehari-hari, hasil penjualan sapi, dan aktivitas simpan pinjam yang dibutuhkan dalam peternakan. Semua aktivitas ini tidak akan pernah ada di pedesaan jika koperasi susu tidak ada.
Keuntungan yang diperoleh anggota jauh lebih besar dibandingkan dengan SHU koperasi. Misalnya jika usaha anggota koperasi secara rata-rata memberikan keuntungan bersih sebesar Rp 1.000 per hari (jumlah yang sangat kecil tentunya), berarti terdapat keuntungan bersih sebesar Rp 9,86 triliun per tahunnya. Ini hanya keuntungan bersihnya. Oleh karena itu, sangat picik jika menilai keberhasilan gerakan koperasi hanya dari SHU koperasi.
"The blind leading the blind"
Jika Megawati prihatin dengan kondisi koperasi, maka yang lebih memprihatinkan adalah bahwa cita-cita gerakan koperasi tidak berkembang justru karena pemimpin negara ini salah dalam memandang koperasi sebagai suatu bentuk organisasi yang unik.
Kekeliruan yang sama juga dinyatakan Abdurrahman Wahid pada Hari Koperasi tahun 2000. "Seperti yang dikatakan di dalam GBHN, koperasi tidak mempunyai keuntungan, tetapi sisa hasil usaha. Kenapa kita harus menipu diri sendiri. Langsung saja bilang keuntungan karena koperasi cari keuntungan juga tidak salah. Apa salahnya?" (Kompas, 13 Juli 2000)
Apa salahnya? Salahnya adalah sang pemimpin yang tidak tahu, tetapi sok tahu tentang koperasi. Edgar Parnell dalam bukunya, Reinventing Cooperation (1999), mengibaratkan fenomena ini sebagai the blind leading the blind. Pernyataan Gus Dur tersebut benar-benar merupakan pembodohan masyarakat terhadap nilai dasar perkoperasian.
Koperasi tak berorientasi pada keuntungan karena koperasi berkonsentrasi untuk meningkatkan keuntungan yang diterima anggota, bukan dirinya sendiri. Jika koperasi berorientasi keuntungan, koperasi akan mengeksploitasi anggotanya. Jumlah keuntungan para anggota inilah yang dinamakan hasil usaha yang sesungguhnya. Kalaupun ada surplus yang diperoleh koperasi, misalnya karena berhasil meningkatkan efisiensi usaha, itu namanya sisa keuntungan atau sisa hasil usaha.
Kita tahu pengertian kata "sisa" adalah sesuatu yang sebenarnya tidak diharapkan, tetapi jika ada, sayang untuk dibuang. Karena itu, pemanfaatan SHU dikembalikan kepada anggotanya, mau dibagikan kepada anggota atau diikhlaskan untuk pemupukan modal koperasi agar pelayanan kepada anggota semakin meningkat.
Terminologi SHU ini sudah tepat, tetapi malah dikacaukan oleh pemimpin negara yang terhormat. Karena itu, tidak heran jika banyak pihak yang memandang remeh gerakan koperasi karena SHU-nya kecil. Padahal, mereka sedang membandingkan keuntungan total perusahaan swasta dengan sisa keuntungan yang diperoleh koperasi.
Tidak tahu bahwa tidak tahu
Disadari bahwa masyarakat Indonesia masih awam terhadap gerakan koperasi. Masyarakat butuh pembelajaran, tetapi yang terjadi justru proses pembodohan. Bangsa Indonesia hingga kini tetap kebingungan, di mana sesungguhnya letak keunggulan koperasi sehingga Bung Hatta menyatakan secara tegas dalam UUD 1945. Bukti kebingungan ini terlihat ketika kata koperasi dihilangkan dalam proses amandemen UUD, bangsa ini seakan tidak melihat ada yang salah di sana.
Hebatnya kekuatan gerakan koperasi bukan suatu utopi, tetapi telah terbukti di banyak negara maju dan negara berkembang lainnya. Sayangnya, bangsa kita masih bagai katak di bawah tempurung. Sementara para pemimpinnya berperilaku bagaikan sekumpulan orang buta yang berdebat mengenai bentuk seekor gajah. They are the blind people and cooperative is their elephant.
Sungguh, gerakan koperasi Indonesia merindukan tokoh sebagaimana Bung Hatta, yaitu orang yang terkategori "tahu bahwa dia tahu" tentang koperasi. Terhadap kategori orang seperti ini, para ulama menasihatkan kita untuk banyak belajar darinya. Perguruan tinggi seharusnya terpanggil untuk memperbanyak orang-orang kategori ini.
Sebaliknya, pada mereka yang terkategori "tahu bahwa dia tidak tahu", ulama menganjurkan untuk mengajari dia, tuntun dia agar menjadi kategori yang pertama. Akan tetapi bagi mereka yang terkategori "tidak tahu bahwa dia tidak tahu", ini adalah kelompok yang celaka, maka nasihat ulama adalah tinggalkan dia. Entah apa lagi yang akan terungkap pada peringatan Hari Koperasi tahun ini.
Lukman M Baga Staf IPB, Kandidat Doktor pada Institute for Cooperation in Developing Countries, Marburg, Jerman

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/12/opini/422868.htm


Menelusuri Jejak Perak Kotagede
SIAPA yang tidak mengenal kawasan Kotagede? Sentra kerajinan perak itu telah menjadi brand image tersendiri bagi setiap wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Kawasan yang terletak sekitar 10 kilometer tenggara dari Kota Yogya itu menarik wisatawan, khususnya turis mancanegara, karena banyak perhiasan dan aksesoris perak yang ditawarkan di sana.
Selain Kotagede, sebenarnya ada beberapa sentra kerajinan perak lain di Indonesia, seperti Bali dan Lombok. Namun, kerajinan perak Kotagede memiliki ciri khas tersendiri, yakni tetap dipertahankannya proses pembuatan barang kerajinan secara manual. "Sejak dulu sampai sekarang keunggulan produk kami adalah pengerjaan secara manualnya," kata A Rifai Halim, seorang pengusaha perak di Kotagede.
Lokasi perajin perak di Kotagede tersebar merata, mulai dari Pasar Kotagede sampai Masjid Agung. Saat ini sekitar 60 toko yang menawarkan berbagai produk kerajinan perak. Sedikitnya ada empat jenis tipe produk yang dijual, yakni filigri (teksturnya berlubang-lubang), tatak ukir (teskturnya menonjol), casting (dibuat dari cetakan), dan jenis handmade (lebih banyak ketelitian tangan, seperti cincin dan kalung).
Untuk memperoleh sebuah bentuk, banyak proses yang harus dikerjakan seorang perajin. Yanto, perajin perak, menjelaskan, tahap paling awal adalah membuat desain, kemudian memindahkan desain itu ke cetakan. Selanjutnya, lempengan kuningan atau tembaga sebagai bahan dasar didrik dengan memakai timah lunak. "Kalau sudah didrik baru dirangkai. Langkah terakhir adalah pelapisan bentuk yang sudah jadi dengan perak melalui proses penyepuhan."
Yanto menambahkan, sebagian bentuk memerlukan proses yang berbeda. Perak lempengan harus dipahat sedikit demi sedikit dengan lembaran aspal atau lilin atau kawat perak tipis, dan dirangkai sedemikian rupa untuk memperoleh bentuk yang dikehendaki.
Kebanyakan ornamen kerajinan perak Kotagede sangat dipengaruhi oleh motif kain batik. Penentuan harga barang kerajinan perak tidak hanya didasarkan pada besar-kecil atau beratnya, tetapi juga nilai seni dan tingkat kerumitan dalam pengerjaannya.
MENURUT para pengusaha perak di Kotagede, kerajinan perak yang digeluti sebagian besar masyarakat wilayah itu bersifat turun-temurun. Awalnya, jumlah perajin hanya beberapa orang, karena usaha mereka hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan perhiasan atau perlengkapan lainnya bagi raja dan kerabat keraton.
Sebelum berkembang menjadi sentra kerajinan perak, Kotagede merupakan ibu kota Kerajaan Mataram yang pertama, dengan raja pertama Panembahan Senopati. Panembahan Senopati menerima kawasan yang waktu itu masih berupa hutan yang sering disebut Alas Mentaok dari Sultan Pajang, Raja Kerajaan Hindu di Jawa Timur. Kotagede menjadi ibu kota hingga tahun 1640, karena raja ketiga Mataram Islam, Sultan Agung, memindahkannya ke Desa Kerto, Plered, Bantul.
Menurut Rifai, keberadaan perajin perak muncul seiring dengan lahirnya Mataram. "Perpindahan ibu kota ke Plered itu ternyata tidak membuat para perajin ikut-ikutan pindah. Mereka yang biasanya melayani kebutuhan raja itu tetap mempertahankan usahanya dengan menjualnya ke masyarakat umum."
Masa kejayaan Kotagede sebagai sentra industri perak terjadi pada era 1970-1980. Saat itu, jenis barang didominasi oleh alat-alat makan untuk memenuhi permintaan turis asing. "Apalagi, saat itu belum banyak toko yang menjual produk kerajinan perak," kata Rifai.
Menurut Sutojo, Ketua II Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta (KP3Y) keberadaan perajin perak di Kotagede juga tak luput dari peran Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang masuk ke Yogyakarta sekitar abad ke-16 silam. Waktu itu, banyak pedagang VOC yang memesan alat-alat rumah tangga dari emas, perak, tembaga, dan kuningan ke penduduk setempat.
"Berdasarkan data KP3Y tahun 2000, sedikitnya 2.000 orang terlibat langsung dalam mata rantai industri perak di Kotagede. Perajinnya pun tidak hanya dari masyarakat Kotagede, namun sudah meluas. Orang-orang dari Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul banyak datang dan bermukim di Kotagede untuk menjadi perajin perak," papar Sutojo.
Namun, sejak krisis moneter dan maraknya peledakan bom di Indonesia, industri kerajinan perak kian meredup. Bahkan, saat ini ratusan perajin perak terpaksa gulung tikar. Dari sekitar 2.000 perajin, 30 persen di antaranya beralih ke profesi lain seperti kusir andong, usaha warung, dan kuli bangunan.
Perajin yang masih bertahan tidak lagi mengandalkan perak sebagai bahan baku kerajinan. Sekitar 40 persen di antaranya memanfaatkan tembaga dan kuningan sebagai bahan baku alternatif.
Keterpurukan kerajinan perak Kotagede itu diperparah oleh semakin minimnya minat generasi muda menggeluti usaha itu. Mereka lebih memilih bekerja di sektor yang dinilai praktis dan menjanjikan secara ekonomi, misalnya bekerja sebagai buruh pabrik ataupun pegawai negeri.
Perjalanan historis Kotagede sebagai sentra industri perak memang pernah mengalami masa kejayaan. Namun, saat ini kondisinya tengah terpuruk. Untuk mengembalikan masa kejayaan, sepertinya tidak mudah. Kontribusi dari semua pihak jelas dibutuhkan. Persoalannya, sampai saat ini belum ada langkah konkret untuk menyelamatkan sentra perak tersebut.(ONI/ENY)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/24/ekora/1502140.htm

Kota Kuno dengan Perak Bakarnya
  Kota GedeHanya lima kilometer kearah tenggara dari pusat kota Yogyakarta untuk mencapai lokasi kota kuno yang menyisakan banyak bangunan tua dimana dahulu adalah kota kerajaan dan Istana Mataran Islam. Kota kuno ini lebih terkenal dengan nama Kota Gede dan semua penduduk Yogya tahu benar lokasi ini, terlebih para pengemudi angkutan umum atau pemandu wisata, hanya dengan menggunakan bis kota jalur 11 dari terminal Umbulharjo bisa nyampai kurang dari tigapuluh menit, atau mau lebih cepat lagi dengan taxi atau kendaraan pribadi tidak sampai limabelas menit. Bagi setiap wisatawan ke Yogyakarta sangat menginginkan mengunjungi Kota Gede, karena mereka dapat menyaksikan proses pembuatan kerajinan perak dan juga membelinya sebagai buah tangan atau cinderamata bagi keluarga maupun sahabatnya.
 Kota Kuno Mataram
Selain itu dapat disaksikan bangunan-bangunan tua sebagai saksi sejarah pernah adanya kerajaan Mataram Islam didaerah ini sebelum dipindahkan misal gerbang-gerbang Kraton, atau kompleks makam Makam Sapto Renggo atau lebih sering disebut makam Kota Gede. Kunjungan ke makam Kotagede merupakan perjalanan wisata ziarah yang masih berkaitan dengan kunjungan ke obyek-obyek wisata di lingkungan Kraton Yogyakarta. Dalam gedung makam utama, dimakamkan Ngabehi Loring Pasar Sutawijaya, pendiri kerajaan Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, yang juga merupakan leluhur atau nenek moyang dari Sultan-sultan yang memerintah Kasultanan Yogyakarta. Selain itu juga terdapat makam ayah bundanya yaitu Ki dan Nyi Ageng Pemanahan, Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang yang merupakan ayah angkat beliau dan kerabat istana yang lain. Dalam kompleks makam keluarga raja Mataram ini terdapat pula makam Ki Ageng Mangir, menantu Panembahan Senopati yang juga merupakan musuh Panembahan Senopati. Sekitar seratus meter di sebelah selatan dari kompleks makam ini, masih dapat disaksikan "Watu Gilang" yang konon adalah lantai singgasana Panembahan Senopati yang digunakan untuk mengakhiri hidup Ki Ageng Mangir Wanabaya.
 Perak Bakar
Kerajinan perak juga identik dengan nama Kota Gede karena banyak sekali rumah tangga yang menyandarkan kehidupannya dari kerajinan perak, ada yang kecil-kecilan, dengan tenaga kerja satu-dua orang, namun ada juga yang mempekerjakan hingga 60 orang perajin. Sebenarnya kerajinan perak ini telah dilakukan turun temurun sejak dahulu dan berawal dari pemenuhan kebutuhan akan perhiasan atau perlengkapan lainnya bagi Raja dan Kraton serta kerabat-kerabatnya. Lokasi perajin perak ada di hampir setiap sudut Kota Gede dari pasar Kota Gede hingga Mesjid Agung dan bekas Istana Mataram Islam, terdapat puluhan toko, perajin maupun koperasi kerajinan perak. 
Ciri khas yang tetap dipertahankan adalah pengerjaan barang kerajinan secara manual, karena sejak jaman dulu sampai sekarang tetap mengandalkan ketrampilan tangan. Sebuah perak lempengan dipahat sedikit demi sedikit dengan lembaran aspal atau lilin atau sebuah kawat perak tipis dipilih satu persatu dan  dirangkai sedemikian rupa untuk memperoleh bentuk yang dikehendaki dengan bagian rumit yang perlu dilaspun dikerjakan dengan penuh ketelitian. Sebagian lagi memerlukan proses yang berbeda, misalnya dengan dibakar untuk memperoleh perak bakar yang juga banyak digemari.
Kerajinan perak di daerah Kota Gede ini dalam perkembangannya tak dapat lepas dari sentuhan teknologi serta keragaman desain karena demi mencapai hasil yang lebih baik, dan agar dapat memenuhi selera konsumen yang beragam.
Sebagian besar hasil kerajinan berupa barang-barang yang berbentuk klasik, seperti nampan, piring, sendok-garpu, vas bunga, asbak, tutup gelas dan lain sebagainya. Terdapat pula hasil kerajinan seperti cincin, kalung, giwang dan lainnya. Kebanyakan ornamen kerajinan perak Kota Gede sangat dipengaruhi oleh motif kain batik. Dalam masalah penentuan harga sebuah benda kerajinan perak ini tidak hanya didasarkan besar-kecilnya atau beratnya tetapi juga nilai seni dan tingkat kerumitan dalam pengerjaannya. Sehingga sering didapati harga yang sangat bervariatif antara satu penjual dengan penjual lainnya, tetapi yang pasti lebih murah daripada yang dijual diluar Kota Gede, misal di hotel, geleri atau lainnya di pusat kota Yogya.
-kinasih-



Kosakata
Catatan
http://indonesian.arts.monash.edu.au/T2/INM2225/bacaan/u17tanya3.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar